MAJLIS AYAHANDA NEGERI SEMBILAN-MANS


counter

Monday, July 7, 2014

Sikap Rendah Hati - Serial Kutipan Indah

MAJLIS AYAHANDA NEGERI SEMBILAN-MANS

Bismillahirrahmanirrahim

تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ وَتَعَلَّمُوا لِلْعِلْمِ السَّكِيْنَةَ وَالْحِلْمَ وَتَوَاضَعُوا لِمَنْ تَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ وَلْيَتَوَاضَعْ لَكُمْ مَنْ تُعَلِّمُوْنَهُ وَلاَ تَكُوْنُوا جَبَابِرَةَ الْعُلَمَاءِ فَلاَ يَقُوْمُ عِلْمُكُمْ بِجَهْلِكُمْ
Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah ketenangan serta kesantunan untuk menyertai ilmu itu. Bersikaplah rendah hati kepada guru-guru kalian, dan murid-murid kalian pun hendaknya bersikap rendah hati kepada kalian. Jangan menjadi ulama’ yang sombong, sehingga ilmu kalian tidak bisa tegak disebabkan kebodohan kalian itu. (‘Umar bin al-Khaththab).[1]

إِذَا عَلِمْتَ فَلاَ تُفَكِّرْ فِي كَثْرَةِ مَنْ دُوْنَكَ مِنَ الْجُهَّالِ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى مَنْ فَوْقَكَ مِنَ الْعُلَمَاءِ
Jika engkau telah berilmu, maka jangan memikirkan betapa banyaknya orang-orang yang lebih bodoh darimu, akan tetapi perhatikanlah para ulama’ yang lebih pandai darimu! (Ahli Hikmah).[2]

الْعِلْمُ ثَلاَثَةُ أَشْبَارٍ فَمَنْ نَالَ مِنْهُ شِبْرًا شَمَخَ بِأَنْفِهِ وَظَنَّ أَنَّهُ نَالَهُ وَمَنْ نَالَ الشِّبْرَ الثَّانِيَ صَغَرَتْ إلَيْهِ نَفْسُهُ وَعَلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَنَلْهُ وَأَمَّا الشِّبْرُ الثَّالِثُ فَهَيْهَاتَ لاَ يَنَالُهُ أَحَدٌ أَبَدًا
Ilmu itu diumpamakan tiga jengkal. Barangsiapa yang baru meraih satu jengkal, dia akan meninggikan hidungnya dan menyangka telah meraih seluruhnya. Barangsiapa yang telah meraih jengkal kedua, pasti ia merasakan betapa kecilnya dirinya, dan menyadari bahwa ia belum meraih apa-apa. Adapun jengkal ketiga, maka itu mustahil; tidak akan ada seorang pun yang mampu meraihnya untuk selamanya. (Asy-Sya’bi).[3]

فَالْعِلْمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى الْمُتَعَالِي * كَالسَّيْلِ حَرْبٌ لِلْمَكَانِ الْعَالِي
Ilmu itu menjadi musuh bagi anak muda yang tinggi hati; sebagaimana aliran air yang menjadi musuh bagi tempat yang tinggi.[4]

لاَ يُنَالُ الْعِلْمُ إِلاَّ بِالتَّوَاضُعِ وَإِلْقَاءِ السَّمْعِ قَالَ اللهُ تَعَالَى ( إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ ) وَمَعْنَى كَوْنِهِ ذَا قَلْبٍ أَنْ يَكُوْنَ قَابِلاً لِلْعِلْمِ فَهْمًا ثُمَّ لاَ تُعِيْنُهُ الْقُدْرَةُ عَلَى الْفَهْمِ حَتىَّ يُلْقِى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ حَاضِرُ الْقَلْبِ لِيَسْتَقْبِلَ كُلَّ مَا أُلْقِيَ إِلَيْهِ بِحُسْنِ اْلإِصْغَاءِ وَالضَّرَاعَةِ وَالشُّكْرِ وَالْفَرَحِ وَقَبُوْلِ الْمِنَّةِ
Ilmu tidak mungkin bisa diraih kecuali dengan ketawadhu’an dan kesediaan untuk mendengarkan. Allah berfirman, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qs. Qaaf: 37). Maksud dari mempunyai akal adalah dia harus siap menerima ilmu, yakni dari segi pemahaman. Kemudian, kemampuan untuk memahami itu tidak akan bermanfaat baginya sampai dia mau mendengarkan, dan dia pun harus dalam keadaan sadar secara penuh untuk menyambut semua yang disampaikan kepadanya, dengan penuh perhatian, ketundukan, terima kasih, gembira, dan mau menerima pemberian (dari gurunya). (Imam al-Ghazali).[5]

No comments: